BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia
diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup,
menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator
penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan
peran penting dalam interaksi sosial. Setiap manusia memiliki emosi, memberinya
identitas dan sepertinya harus belajar beradaptasi serta mengontrol emosinya.
Mengkaitkan emosi dengan individu adalah berbicara mengenai variasi setiap
orang.
Bagaimana kita mendefinisikan emosi, seberapa penting
kita memandangnya, bagaimana kita mengelolanya, merasakannya, menerimanya dan
mengekspresikannya, setiap orang adalah berbeda dan unik. Berbicara mengenai
individu manusia tentu tidak lepas dari konteks budaya dalam hidupnya.
Bagaimana pun keduanya adalah saling mempengaruhi.
Begitupun kaitannya dengan emosi, setiap budaya adalah unik dan berbeda dalam
bagaimana budaya tersebut memberi arti, melihat, mengelola, dan mengekspresikan
emosinya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimanakah perbedaan ataupun
persamaan setiap budaya dalam konsep emosinya.
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial
dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika
manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang
lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama
tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga
kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya
berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang
masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang
dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di
mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari
dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba
mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di
dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang
dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup
budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh
ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi
tertentu dari kebudayaan.
B. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari
penulisan ini adalah untuk :
1.
Mengetahui teori dan pandangan tradisional tentang
emosi
2.
Mengetahui konsep dan definisi emosi
3.
Mengetahui perbedaan makna emosi bagi orang dan dalam
perilaku lintas budaya
4.
Mengetahui menuju teori emosi lintas budaya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
dan Pandangan Tradisional Tentang Emosi
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia
diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup,
menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator
penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan
peran penting dalam interaksi sosial.
Ada
dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi, yaitu:
1.
Pengalaman emosi, yakni kondisi
subjektif, perasaan dalam diri kita.
2. Ekspresi
kita atas emosi melalui suara, wajah, bahasa, atau sikap tubuh (gesture).
Teori utama tentang pengalaman emosional, antara lain:
- Teori James/ Lange, menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya (overt behaviour-nya) sendiri.
- Teori Cannon/ Bard, menyatakan bahwa arousal otonomik terlampau lamban sehingga tidak bisa dipakai untuk menjelaskan terjadinya perubahan dalam pengalaman emosional. Sebaliknya pengalaman emosional yang sadar dihasilkan oleh stimulasi langsung atas pusat-pusat otak di korteks.
- Teori Schatcher/ Singer (teori yang terfokus pada peran interpretasi kognitif), menyatakan bahwa pengalaman emosional tergantung hanya pada interpretasi seseorang terhadap lingkungan di mana ia mengalami arousal. Menurutnya emosi tidak terdeferensiasi secara fisiologis.
Adapun beberapa teori umum, yaitu:
- Teori Thomkins, menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evo;usioner dan bahwa ekspresinya merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya manapun.
- Teori Ekman (1972) dan Izard (1971), menyatakan bahwa setidaknya terdapat enam ekspresi wajah emosi yang pankultural atau universal, seperti marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.
Kesamaan dari keseluruhan teori ialah semua melihat
adanya peran sentral bagi pengalaman emosi subjektif bagi perasaan batin (inner
feeling) seseorang.
Perbedaan-perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan dan
Memahami Emosi Telaah Russel yang menelaah dari berbagai literatur
lintas-budaya dan antropologis tentang konsep-konsep emosi dan meyimpulkan
bahwa ada perbedaan antar budaya, yang kadang mencolok, ini merupakan hal yang bagus dan menjadi
landasan yang kuat.
B. Konsep
dan Definisi Emosi
Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep
emosi. Levy misalnya, mengatakan bahwa orang Tahiti
tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa orang Ifaluk dari
kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan
konsep emosi adalah sesuatu yang khas untuk budaya-budaya tertentu saja.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang
merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak
setara.
1. Kategori atau
Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam
mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti
anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa
dan budaya. Ada
pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam
bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang tidak punya
padanan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata Schadenfreude
yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa
Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai
rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang
terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan ketergantungan.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa
masing-masing budaya memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda.
Dengan demikian, selain konsep emosi merupakan khas budaya (culture bound),
demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia
emosi.
2. Lokasi Emosi
Salah satu komponen emosi terpenting dalam psikologi
Amerika adalah pengalaman subjektif atas emosi, pengalaman batin emosi dalam
diri. Namun penekanan pada pentingnya perasaan batin dan emosi mungkin saja
tidak bebas budaya, alias khas psikologi Amerika. Di amerika kita biasa
menempatkan perkara emosi dan perasaan batin di jantung (heart) bahkan diantara
budaya-budaya yang juga menunjuk tubuh sebagai lokasi emosi, lokasi persisnya
bervariasi. Orang Jepang misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada
hara-abdomen atau perut. Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan
pikiran di hati (lever). Orang Tahiti percaya
bahwa emosi muncul dari usus (intestine).
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya
terikat oleh budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan
lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari
budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.
C. Perbedaan
Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna yang
amat kental, barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang
subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian
dalam budaya lain emosi memiliki peranan yang berbeda. Misalnya banyak budaya
yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar
orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial
dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi merupakan pernyataan mengenai
hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae, menunjuk
pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.
1. Penelitian
Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi
Ada
beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang
emosi dengan kajian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya
adalah bahwa ahli psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang
tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi,
menjadi hambatan bagi model penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi
tetap mewakili suatu model penelitian yang penting tentang perbedaan kultural
dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi
dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh
sosio-kultural. Kajian-kajian ini juga penting karena mereka menunjukkan bahwa
perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti
didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.
2. Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada
umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi
merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas
budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama
kajian-kajian emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti
pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah,
jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa
konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat
bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif
kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi.
Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara
emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi
sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural
display role).
Sebenarnya adanya aturan kultural yang mengatur
pengungkapan emosi ini sudah dua dekade yang lalu ditunjukkan oleh sebuah studi
komparatif antara perilaku raut muka orang Amerika dan Jepang. Dalam studi ini,
dua kebudayaan tersebut menonton film yang amat stessfull dan dalam dua kondisi
sosial yang berbeda. Selama eksperimen ini terjadi, wajah mereka diam-diam
direkam, hasil yang ditunjukan adalah orang Amerika dan Jepang ekspresi jijik,
marah, takut, dan sedih pada saat yang sama, muncul juga perbedaan kultural
yang mencolok saat si Eksperimenter muncul, orang Amerika tetap menunjukan
emosi negatif mereka namun orang Jepang terus tersenyum.
Temuan ini menunjukan bahwa ekspresi emosi yang secara
biologis bersifat bawaan berpadu dengan aturan-aturan pengungkapan yang
bersifat kultural dalam menghasilkan ekspresi-ekspresi emosi dalam interaksi.
Penelitian lain ialah bagaimana aturan pengungkapan berbeda secara kultural. Salah
satunya, partisipan dari Amerika, Polandia, dan Hungaria diminta melaporkan
tingkat tepat tidaknya mengekspresikan masing-masing dari ke enam emosi
universal dalam tiga situasi sosial yang berbeda: (1) saat sendirian, (2) saat
bersama orang lain yang dianggap sebagai otang dalam (teman dekat, anggota
keluarga), dan (3) bersama orang lain yang dianggap orang luar (orang di
keramaian, teman sehari-hari). Orang Polandia dan Hungaria menampilkan lebih
sedikit emosi negatif dan lebih banyak emosi positif ketika bersama in group
dibandingkan orang Amerika, sebaliknya.
Penelitian juga menunjukan adanya perbedaan etnis
dalam aturan pengungkapan di Amerika. Dalam penelitian in group dan out group,
subjek-subjek penelitian ini diminta untuk menilai tingkat kecocokan tindakan
menampilakan emosi-emosi universal dalam situasi sosial yang berbeda-beda.
Hasilnya menunjukan bahwa meskipun ekspresi wajah universal itu secara biologis
bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada semua orang, budaya punya
pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan yang pengungkapan yang
dipelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada
hakekatnya bersifat sosial, kita harus memahami bahwa perbedaan kultural dalam
aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan setiap,
kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat, dan
memang mengekspresikan emosi secara berbeda.
3. Persepsi Emosi
Ekman dkk melakukan salah satu penelitian pertama yang
menunjukan bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsi emosi. Mereka
memperlihatkan foto-foto ke enam emosi universal pada pengamat dari sepuluh
budaya. Para subjek dari sepuluh budaya itu
sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan, yang menunjukan universalitas
rekognisi emosi. Namun tetap terdapat perbedaan antar budaya dalam hal seberapa
kuat mereka mempersepsi emosi. Tes ini menunjukan budaya Asia
menilai lebih lemah intensitas emosi-emosi tersebut dibanding budaya-budaya
non-Asia. Matsumoto dan Ekman mereplikasikan temuan ini, menunjukan bahwa
perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsi tetap ada, baik ketika
subjek menilai ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya.
Di bagian lain dari penelitian lintas ras pada subjek
Amerika, subjek-subjek Kaukasia, kulit hitamm, Asia dan Hispanik (latin)
melihat contoh-contoh ekspresi wajah emosi universal dan diminta untuk memberi
penilaian secara skala tentang seberapa kuat intensitas emosi menurut persepsi
mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam mempersepsi marah dan
takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia,
mempersepsi wajah Kaukasia dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang
Kaukasia dan Asia, serta mempersepsi ekspresi wanita dengan intensitas lebih
tinggi dapi pada orang asia. Orang hispanik juga mempersepsi takut lebih intens
dibandingkan orang Asia.
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski
biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh
suatu ekspresi wajah, namun tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan
tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan
dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat
kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli emosi juga tampak dalam data
dari penelitian semula Ekman dan Izard tentang sifat universal emosi. Hanya
saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan
interpretasi emosi? Beberapa ahli psikologi percaya budaya memiliki aturan yang
mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur
ekspresinya. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode
(dicoding Rules (BUCK, 1984) aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang
dipelajari, yang membentuk bagaimana orang disuatu budaya memandang dan
menginterpretasi ekspresi-ekspresi orang lain. Seperti aturan pengungkapan,
aturan dekode dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan dipelajari
sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan
demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi
bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.
4. Pengalaman
Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program
penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang dari berbagai budaya
mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-penelitian tersebut melibatkan ribuan responden dari lebih dari
30 budaya dari seluruh dunia yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka
alami di kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian
ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana
orang mengalami emosi.
Para responden dalam
penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa lama
(durasi) mereka mengalami emosi mereka. Orang Amerika merasakan emosi mereka
lebih lama dan pada intensitas yang lebih tinggi ketimbang orang Eropa maupun
Jepang.
D. Menuju
Teori Emosi Lintas Budaya
Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam
membentuk emosi manusia. Bukti-buktinya berasal dari berbagai kajian
antropologis dan etnografik tentang emosi di berbagai budaya yang berbeda,
penelitian psikologis lintas budaya tentang emosi dan penelitian fisologis
tentang emosi pada berbagai kelompok ras di Amerika. Tapi sebelumnya, harus
dicari cara-cara yang lebih baik untuk mengorganisir dan memahami pengaruh
kultural pada emosi. Sebelum kita menemukan fakta-fakta baru tentang perbedaan
kultural dalam emosi, kita perlu mencari cara-cara yang bermaksud untuk
memahami, memprediksi dan menafsirkan perbedaan kultural. Mencari dan mengambil
pendekatan-pendekatan yang secara teoritis relevan dengan budaya dan emosi akan
membantu kita untuk memahami budaya dan emosi. Hal itu juga akan memandu upaya
pencarian kita untuk menyibak berbagai hubungan antara keduanya dalam cara-cara
yang penting.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan
sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak
berdasarkan etnisitas atau kebangsaan. Budaya bukanlah biologi, melainkan lebih
merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita perlu beranjak dari
kebiasaan mengklasifikasi orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik,
dan Asia, atau Amerika, Prancis, Jepang dan Inggris. Kita perlu menemukan
cara-cara yang bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan
etnisitas atau kebangsaan.
Beberapa ahli psikologi telah berusaha melakukan hal
ini dalam kajian mereka tentang budaya dan emosi. Pendekatan-pendekatan ini
difokuskan pada konstruk sosio-psikologis yang dikenal sebagai individualisme
vs kolektifisme sebagai ukuran budaya. Individualisme mengacu pada sejauh mana
kebudayaan mengayomi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan hasrat-hasrat
individual diatas kebutuhan kelompok. Kolektifisme mengacu pada sejauh mana
sebuah kebudayaan menekankan pada pengorbanan kebutuhan-kebutuhan individu demi
kebutuhan kelompok. Salah satu keuntungan utama mendefinisikan budaya dengan
individualisme vs kolektifisme adalah bahwa hal ini merupakan suatu konstruk
yang benar-benar sosio-psikologis, tidak dibatasi oleh etnisitas maupun
kebangsaan. Dengan menggunakan dimensi ini kita bisa meneliti bagaimana
berbagai kelompok berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana individu-individu
dalam kelompok-kelompok tersebut berbeda antar mereka sendiri.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya
adalah petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut
fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang
berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa
Mesir temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi tampaknya
mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam
emosi.
Pendekatan ini bukanlah jawaban akhir atas
pertanyaan-pertanyaan kita dalam memahami pengaruh budaya atas emosi. Cara-cara
untuk menggambarkan budaya secara lebih bermakna ketimbang penggambaran lewat
dimensi individualisme vs kolektifisme mungkin akan muncul dan para peneliti
mungkin akan menemukan dimensi kultural lain yang lebih relevan untuk memahami
perbedaan-perbedaan kultural dalam emosi.
BAB III
KESIMPULAN
Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi
motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan
memainkan peran dalam interaksi sosial. Penelitian psikologi lintas budaya
tentang emosi dikaji dengan pendekatan antropologis dan etnografis. Tidak semua
budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep
emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang berbeda,
juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Kebudayaan memiliki
pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi. Kebudayaan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang
sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau
kebangsaan. Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah
petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau
lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan
apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa Mesir
temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi tampaknya mendukung
penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam emosi.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto,
David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuniardi,
Salis. 2004. Psikologi Lintas Budaya.
Malang: Tri
Dayakisni.
Ihromi, T.O.,
Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
Robbins,
Stephen P. Prinsip – prinsip Perilaku
Organisasi, Jakarta:
PT Gelora Aksara Pratama, 2002
http://faztilmi.wordpress.com/2012/04/04/emosi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar