Selasa, 19 Maret 2013

makalah budaya

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial. Setiap manusia memiliki emosi, memberinya identitas dan sepertinya harus belajar beradaptasi serta mengontrol emosinya. Mengkaitkan emosi dengan individu adalah berbicara mengenai variasi setiap orang.
Bagaimana kita mendefinisikan emosi, seberapa penting kita memandangnya, bagaimana kita mengelolanya, merasakannya, menerimanya dan mengekspresikannya, setiap orang adalah berbeda dan unik. Berbicara mengenai individu manusia tentu tidak lepas dari konteks budaya dalam hidupnya.
Bagaimana pun keduanya adalah saling mempengaruhi. Begitupun kaitannya dengan emosi, setiap budaya adalah unik dan berbeda dalam bagaimana budaya tersebut memberi arti, melihat, mengelola, dan mengekspresikan emosinya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimanakah perbedaan ataupun persamaan setiap budaya dalam konsep emosinya.
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.

B.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk :
1.      Mengetahui teori dan pandangan tradisional tentang emosi
2.      Mengetahui konsep dan definisi emosi
3.      Mengetahui perbedaan makna emosi bagi orang dan dalam perilaku lintas budaya
4.      Mengetahui menuju teori emosi lintas budaya





BAB II
PEMBAHASAN


A.  Teori dan Pandangan Tradisional Tentang Emosi
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial.
Ada dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi, yaitu:
1.  Pengalaman emosi, yakni kondisi subjektif, perasaan dalam diri kita.
2.   Ekspresi kita atas emosi melalui suara, wajah, bahasa, atau sikap tubuh (gesture).
Teori utama tentang pengalaman emosional, antara lain:
  • Teori James/ Lange, menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya (overt behaviour-nya) sendiri.
  • Teori Cannon/ Bard, menyatakan bahwa arousal otonomik terlampau lamban sehingga tidak bisa dipakai untuk menjelaskan terjadinya perubahan dalam pengalaman emosional. Sebaliknya pengalaman emosional yang sadar dihasilkan oleh stimulasi langsung atas pusat-pusat otak di korteks.
  • Teori Schatcher/ Singer (teori yang terfokus pada peran interpretasi kognitif), menyatakan bahwa pengalaman emosional tergantung hanya pada interpretasi seseorang terhadap lingkungan di mana ia mengalami arousal. Menurutnya emosi tidak terdeferensiasi secara fisiologis.



Adapun beberapa teori umum, yaitu:
  • Teori Thomkins, menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evo;usioner dan bahwa ekspresinya merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya manapun.
  • Teori Ekman (1972) dan Izard (1971), menyatakan bahwa setidaknya terdapat enam ekspresi wajah emosi yang pankultural atau universal, seperti marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.
Kesamaan dari keseluruhan teori ialah semua melihat adanya peran sentral bagi pengalaman emosi subjektif bagi perasaan batin (inner feeling) seseorang.
Perbedaan-perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi Telaah Russel yang menelaah dari berbagai literatur lintas-budaya dan antropologis tentang konsep-konsep emosi dan meyimpulkan bahwa ada perbedaan antar budaya, yang kadang mencolok,  ini merupakan hal yang bagus dan menjadi landasan yang kuat.


B.  Konsep dan Definisi Emosi
Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep emosi. Levy misalnya, mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan konsep emosi adalah sesuatu yang khas untuk budaya-budaya tertentu saja.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara.
1.   Kategori atau Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata Schadenfreude yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan ketergantungan.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep emosi merupakan khas budaya (culture bound), demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia emosi.

2.   Lokasi Emosi
Salah satu komponen emosi terpenting dalam psikologi Amerika adalah pengalaman subjektif atas emosi, pengalaman batin emosi dalam diri. Namun penekanan pada pentingnya perasaan batin dan emosi mungkin saja tidak bebas budaya, alias khas psikologi Amerika. Di amerika kita biasa menempatkan perkara emosi dan perasaan batin di jantung (heart) bahkan diantara budaya-budaya yang juga menunjuk tubuh sebagai lokasi emosi, lokasi persisnya bervariasi. Orang Jepang misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara-abdomen atau perut. Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati (lever). Orang Tahiti percaya bahwa emosi muncul dari usus (intestine).
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya terikat oleh budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.

C.  Perbedaan Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna yang amat kental, barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain emosi memiliki peranan yang berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae, menunjuk pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.
1.   Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi
Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dengan kajian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa ahli psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi model penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model penelitian yang penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Kajian-kajian ini juga penting karena mereka menunjukkan bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.

2.   Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama kajian-kajian emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah, jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display role).
Sebenarnya adanya aturan kultural yang mengatur pengungkapan emosi ini sudah dua dekade yang lalu ditunjukkan oleh sebuah studi komparatif antara perilaku raut muka orang Amerika dan Jepang. Dalam studi ini, dua kebudayaan tersebut menonton film yang amat stessfull dan dalam dua kondisi sosial yang berbeda. Selama eksperimen ini terjadi, wajah mereka diam-diam direkam, hasil yang ditunjukan adalah orang Amerika dan Jepang ekspresi jijik, marah, takut, dan sedih pada saat yang sama, muncul juga perbedaan kultural yang mencolok saat si Eksperimenter muncul, orang Amerika tetap menunjukan emosi negatif mereka namun orang Jepang terus tersenyum.
Temuan ini menunjukan bahwa ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan berpadu dengan aturan-aturan pengungkapan yang bersifat kultural dalam menghasilkan ekspresi-ekspresi emosi dalam interaksi. Penelitian lain ialah bagaimana aturan pengungkapan berbeda secara kultural. Salah satunya, partisipan dari Amerika, Polandia, dan Hungaria diminta melaporkan tingkat tepat tidaknya mengekspresikan masing-masing dari ke enam emosi universal dalam tiga situasi sosial yang berbeda: (1) saat sendirian, (2) saat bersama orang lain yang dianggap sebagai otang dalam (teman dekat, anggota keluarga), dan (3) bersama orang lain yang dianggap orang luar (orang di keramaian, teman sehari-hari). Orang Polandia dan Hungaria menampilkan lebih sedikit emosi negatif dan lebih banyak emosi positif ketika bersama in group dibandingkan orang Amerika, sebaliknya.
Penelitian juga menunjukan adanya perbedaan etnis dalam aturan pengungkapan di Amerika. Dalam penelitian in group dan out group, subjek-subjek penelitian ini diminta untuk menilai tingkat kecocokan tindakan menampilakan emosi-emosi universal dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Hasilnya menunjukan bahwa meskipun ekspresi wajah universal itu secara biologis bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada semua orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan yang pengungkapan yang dipelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, kita harus memahami bahwa perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan setiap, kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat, dan memang mengekspresikan emosi secara berbeda.

3.   Persepsi Emosi
Ekman dkk melakukan salah satu penelitian pertama yang menunjukan bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsi emosi. Mereka memperlihatkan foto-foto ke enam emosi universal pada pengamat dari sepuluh budaya. Para subjek dari sepuluh budaya itu sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan, yang menunjukan universalitas rekognisi emosi. Namun tetap terdapat perbedaan antar budaya dalam hal seberapa kuat mereka mempersepsi emosi. Tes ini menunjukan budaya Asia menilai lebih lemah intensitas emosi-emosi tersebut dibanding budaya-budaya non-Asia. Matsumoto dan Ekman mereplikasikan temuan ini, menunjukan bahwa perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsi tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya.
Di bagian lain dari penelitian lintas ras pada subjek Amerika, subjek-subjek Kaukasia, kulit hitamm, Asia dan Hispanik (latin) melihat contoh-contoh ekspresi wajah emosi universal dan diminta untuk memberi penilaian secara skala tentang seberapa kuat intensitas emosi menurut persepsi mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam mempersepsi marah dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, mempersepsi wajah Kaukasia dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, serta mempersepsi ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi dapi pada orang asia. Orang hispanik juga mempersepsi takut lebih intens dibandingkan orang Asia.
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli emosi juga tampak dalam data dari penelitian semula Ekman dan Izard tentang sifat universal emosi. Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi? Beberapa ahli psikologi percaya budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode (dicoding Rules (BUCK, 1984) aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang disuatu budaya memandang dan menginterpretasi ekspresi-ekspresi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan dipelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.

4.   Pengalaman Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-penelitian tersebut  melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30 budaya dari seluruh dunia yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka alami di kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.
Para responden dalam penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa lama (durasi) mereka mengalami emosi mereka. Orang Amerika merasakan emosi mereka lebih lama dan pada intensitas yang lebih tinggi ketimbang orang Eropa maupun Jepang.

D.  Menuju Teori Emosi Lintas Budaya
Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia. Bukti-buktinya berasal dari berbagai kajian antropologis dan etnografik tentang emosi di berbagai budaya yang berbeda, penelitian psikologis lintas budaya tentang emosi dan penelitian fisologis tentang emosi pada berbagai kelompok ras di Amerika. Tapi sebelumnya, harus dicari cara-cara yang lebih baik untuk mengorganisir dan memahami pengaruh kultural pada emosi. Sebelum kita menemukan fakta-fakta baru tentang perbedaan kultural dalam emosi, kita perlu mencari cara-cara yang bermaksud untuk memahami, memprediksi dan menafsirkan perbedaan kultural. Mencari dan mengambil pendekatan-pendekatan yang secara teoritis relevan dengan budaya dan emosi akan membantu kita untuk memahami budaya dan emosi. Hal itu juga akan memandu upaya pencarian kita untuk menyibak berbagai hubungan antara keduanya dalam cara-cara yang penting.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau kebangsaan. Budaya bukanlah biologi, melainkan lebih merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita perlu beranjak dari kebiasaan mengklasifikasi orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik, dan Asia, atau Amerika, Prancis, Jepang dan Inggris. Kita perlu menemukan cara-cara yang bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan etnisitas atau kebangsaan.
Beberapa ahli psikologi telah berusaha melakukan hal ini dalam kajian mereka tentang budaya dan emosi. Pendekatan-pendekatan ini difokuskan pada konstruk sosio-psikologis yang dikenal sebagai individualisme vs kolektifisme sebagai ukuran budaya. Individualisme mengacu pada sejauh mana kebudayaan mengayomi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan hasrat-hasrat individual diatas kebutuhan kelompok. Kolektifisme mengacu pada sejauh mana sebuah kebudayaan menekankan pada pengorbanan kebutuhan-kebutuhan individu demi kebutuhan kelompok. Salah satu keuntungan utama mendefinisikan budaya dengan individualisme vs kolektifisme adalah bahwa hal ini merupakan suatu konstruk yang benar-benar sosio-psikologis, tidak dibatasi oleh etnisitas maupun kebangsaan. Dengan menggunakan dimensi ini kita bisa meneliti bagaimana berbagai kelompok berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana individu-individu dalam kelompok-kelompok tersebut berbeda antar mereka sendiri.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa Mesir temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi tampaknya mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam emosi.
Pendekatan ini bukanlah jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan kita dalam memahami pengaruh budaya atas emosi. Cara-cara untuk menggambarkan budaya secara lebih bermakna ketimbang penggambaran lewat dimensi individualisme vs kolektifisme mungkin akan muncul dan para peneliti mungkin akan menemukan dimensi kultural lain yang lebih relevan untuk memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam emosi.





BAB III
KESIMPULAN


Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam interaksi sosial. Penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dikaji dengan pendekatan antropologis dan etnografis. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi. Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau kebangsaan. Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa Mesir temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi tampaknya mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam emosi.













DAFTAR PUSTAKA



Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yuniardi, Salis. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Tri Dayakisni.

Ihromi, T.O., Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Robbins, Stephen P. Prinsip – prinsip Perilaku Organisasi, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002

http://faztilmi.wordpress.com/2012/04/04/emosi/

Minggu, 17 Maret 2013

Makalah Aspek-Aspek Pendidikan Islam


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian.
Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islam sebagai suatu system keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang sentral dalam pendidikan. Sebab tanpa perumusan yang jelas tentang tujuan pendidikan, perbuatan menjadi tanpa arah, bahkan salah langkah dan tidak sesuai dengan harapan. Demikian juga dengan pendidikan Islam yang berusaha untuk membentuk pribadi manusia melalui proses yang panjang dengan suatu tujuan pendidikan yang jelas dan direncanakan.
Namun, tidak semua tujuan yang telah direncanakan tersebut berjalan mulus tanpa sandungan sedikitpun. Permasalahan seringkali muncul yang berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu ketika output pendidikan yang dihasilkan tidak sesuai dengan tujuan tersebut. Berdasarkan masalah tersebut di atas, telah ditemukan kasus-kasus seperti korupsi, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya yang dilakukan oleh seorang yang telah mengenyam sebuah pendidikan Islam. Kejadian ini dapat diidentifikasi sebagai kurangnya pemahaman tentang  hakekat tujuan pendidikan Islam dalam pribadi orang tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
  1. Apakah pengertian pendidikan ?
  2. Bagaimanakah tugas dan fungsi pendidikan Islam ?
  3. Apakah dasar dan tujuan pendidikan Islam  ?
  4. Bagaimanakah aspek-aspek pendidikan Islam ?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk :
  1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan
  2. Ingin mengetahui tugas dan fungsi pendidikan Islam
  3. Untuk mengetahui dasar dan tujuan pendidikan Islam 
  4. Ingin mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Pendidikan

Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmania juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan dan pertumbuhan melalui proses demi proses kearah tujuan akhir dari perkembangan tersebut.
Beberapa ahli pendidikan barat yang memberikan arti pendidikan adalah :
  1. Mortimer J. Adle mengartikan : Pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperolah) yang dapat mempengaruhi pembiasaan, disempurnakan dengan pembiasaan–pembiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik untuk mencapai tujuan.
  2. Herman H. Horne berpendapat : Pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dan berinteraksi dengan alam sekitar, dengan sesama manusia.
  3. William Mc Gucken, SJ. Seorang tokoh pendidikan katolik berpendapat, bahwa pendidikan diartikan oleh ahli scholastic, sebagai suatu perkembangan dan kelengkapan dari kemapuan manusia baik moral, intelektual, maupun jasmaniah yang diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individu atau social untuk mencapai tujuan akhir.
Bila definisi yang telah disebut diatas dikaitkan dengan pendidikan Islam,akan kita ketahui bahwa pendidikan Islam lebih menekankan pada keseimbangan dan keserasian perkembangn hidup manusia.
Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy Al- Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam hidup pribadinya atau hidup kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses kependidikan.

2.2 Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambuangan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu di emban oleh Pendidikan Islam pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan hingga akhir hayat.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Secara structural, pendidikan Islam menuntut adanya struktur organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan, baik dalam dimensi vertical maupun horizontal. Sementara secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses pendidikan yang berjalan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembang.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu :
·       Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial,serata ide-ide masyarakat dan nasional.
·       Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosialekonomi yang demikian dinamis.

2.3 Dasar Dan Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memeberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang menghantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan hadist (Sunnah Rasulullah).
Dalam pendidikan Islam, Sunah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu :
·       Menjelaskan system pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.
·       Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasullullah bersama sahabat.
Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut Sa’Id Ismail Ali sebagaimana dikutip langgulung terdiri dari 6 macam, yaitu; Al-Qur’an, sunnah,qaul al-shahabat, masail al mursalah.’urf, dan pemikiran hasil ijtihad intelektual Islam.
Dalam perumusan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
·       Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertical maupun horizontal.
·       Sifat-sifat dasar manusia.
·       Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
·       Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.
Dalam aspek ini,ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu ;
1.     Mengandung nilai yang berupaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia dibumi.
2.     Mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan yang baik.
3.     Mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan dunia dan akhirat.

Faktor – faktor Pendidikan :
Menurut Imam Sutari bahwa perbuatan mendidik dan didik memuat faktor – faktor tertentu yang mempengaruhi dan menentukan, beberapa diantara nya adalah :
·       Tujuan pendidikan yang hendak dicapai
·       Adanya subjek manusia (pendidik dan anak didik yang melakukan pendidikan)
·       Hidup bersama dalam lingkungan tertentu
·       Yang memungkinkan alat – alat tertentu untuk mencapai suatu tujuan pendidikan.

2.4 Aspek-Aspek Pendidikan Islam
Aspek pendidikan islam ada 3 macam yaitu aspek ibadah, aspek aqidah dan aspek akhlak
1.   Aspek Aqidah
Dalam dunia pendidikan aspek aqidah sering disebut dengan aspek kognitif. Muhibbin Syah menatakan (“Psikologi Belajar”.2003.22) Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti berarti mengetahui. Muhaimin mendefinisikan kata aqidah dalam bukunya (Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. 2004. 305-306), Kata “aqidah” berasal dari bahasa Arab, yang berarti: “ma ‘uqida ‘alaihi wa al-dlamir”, yakni sesuatu yang ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani); dan berarti “ma tadayyana bihi al-insan wa i’taqadahu”, yakni sesuatu yang dipegangi dan diyakini (kebenarannya) oleh manusia. Dengan demikian secara etimologis, aqidah berarti kepercayaan atau keyakinan yang benar-benar menetap dan melekat di hati manusia.
Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah memperoleh, penataan dan penggunaan pengetahuan. Disebutkan pula, ranah psikologi siswa yang terpenting adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang berkedudukan pada otak ini, pada perspektif psikologi, kognitif adalah sumber sekaligus sumber ranah-ranah kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). (“Psikologi Belajar”.2003.48) dijelaskan pula pada halamn selanjutnya, “upaya pengembangan fungsi ranah kognitif sendiri melainkan juga dalam ranah afektif dan psikomotor” (Psikologi Belajar.2003.51). jadi dapat disimpulkan bahwa aspek aqidah sangat penting karena aspek aqidah sangat mempengaruhi aspek ibadah (afektif) dan aspek akhlak (psikomotor).
Menurut Piaget yang dikutip oleh Drs. Muhaimin (Paradigma Pendidikan Islam.2002.199), membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Dijelaskan pula, asimilasi adalah proses penyatuan (pengitegrasian) informasi baru ke struktur kognisi.

2.   Aspek Akhlak
Dalam dunia pendidikan aspek akhlak sering disebut aspek afektif. Muhimin mendefinisikan akhlak (Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. 2003.306), kata “akhlak” (bahasa arab) merupakan bentuk jamak dari kata “khuluq”, yang brarti tabiat, budi pekerti,kebiasaan. Jadi bila kita berbicara tentang afektif, maka kita berbicara tentang sikap dan nilai siswa. Muhibbin Syah (Psikologi Belajar.2003.53) mengatakan keberhasilan pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan kognitif tetapi juga menghasilkan kecakapan ranah afektif. Ia juga mengatakan keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah afektif. Peningkatan kecakapan afektif ini antara lain, berupa kesadaran beragama yang mantap. Dampak positif lainnya inilah dimilikinya sikap mental keagamaan ysng lebih tegas dan lugas sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang telah diilhami dan diyakini secara mendalam.
Dalam Al Qur’an surat Luqman ayat 12-15 menjelaskan tentang tujuan dari pendidikan islam, dalam aspek aqidah yang diterangkan dalam buku Ilmu Pendidikan Islam karya Dra. Hj. Nur Uhbiyati (Ilmu Pendidikan Islam.2005.152) yaitu keyakinan agama, kesadaran moral dan tanggung jawab sosial
a.   Keyakinan Agama
Dalam menanamkan keyakinan agama, pesan luqman menekan 3 aspek penting, yaitu:
1)   Keyakinan tauhid yang sebersih-bersihnya
2)   Kesadaran akan kemakhlukan kita yang wajib menyukuri segala karunia Tuhan
3)   Kesadaran bahwa segala gerak gerik kita yang nampak maupun yang tersembunyi tidak lepas dari pengetahuan dan pengawasan Tuhan.
Untuk menumbuhkan, memupuk dan memantapkan keyakinan agama itu, Luqman berpesan kepada anaknya agar mendirikan sholat. Ini berarti melaksanakan ibadah harus dibiasakan semenjak kecil.
Dari kutipan diatas bisa disimpulkan bahwa aspek aqidah sangat mempengaruhi aspek akhlak. Bila diaplikasikan dalam dunia pendidikan yaitu dengan menanamkan pengetahuan (aspek aqidah) maka peserta didik dapat mengerti tentang bagaimana ia menilai suatu perbuatan disekitarnya (aspek akhlak).

b.   Kesadaran Moral
Perkembangan kesadaran moral dalam diri anak, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman, berpangkal kepada kemampuan membedakan antara yang makruf, yakni hal-hal yang tidak bertetangan dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral dan yang mungkar yakni hal-hal yang mengganggu dan menimbulkan kerusakan pada kehidupan manusia.

c.   Tanggung Jawab Sosial
Nana Sudjana ( Ilmu Pendidikan Islam. 2005.153.) mengatakan Tanggung jawab social dapat diwujudkan sikap:
1.   Berbuat baik dan hormat epada orang lain, lebih-lebih mereka yang berjasa kepada kita seperti orang tua kita sendiri.
2. Bergaul dengan baik walaupun dengan orang yang berbeda keyakinan dengan kita
3.   tidak berlagak, sombong dan angkuh kepada orang lain.
Setelah dibahas tujuan mengapa kita harus menanamkam aspek akhlak, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memananmkan aspek tersebut pada diri peserta didik. Dr. Asma Hasan Fahmi mengemukakan cara-cara pendidikan Akhlak yang dikutip oleh Dra. Hj. Nur Uhbiyati (Ilmu Pendidikan Islam.2005.153), adalah sebagai berikut:
1.   Memberi petunjuk dan pendekatan dengan cara menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk, menghafal syair-syair, cerita-cerita dan nasihat-nasihat yang baik, menganjurkan untuk melakukan budi pekerti yang baik dan akhlak yang mulia. Selain itu ketika peserta didik melakukan kesalahan, pendidik harus mengingatkan dengan menggunakan kata-kata yang baik dan sebijak mungkin sehingga peserta didik paham atas kesalahannya dan tidak melakukan kesalahn yang sama.
2.   Mempergunakan instink untuk mendidik anak-anak dengan cara:
a.   Anak-anak suka dipuji dan disanjung untuk memenuhi keinginan instink berkuasa dan ia takut celaan dan cercaan. Maka oleh karena itu kalau anak-anak mengerjakan sesuatu yang baik hendaklan dipuji dan menggemarkan dia melawan hawa nafsu dan menjauhkan diri dari ketamakan, baik yang dalam makanan minuman maupun dalam segala kelezatan pada umumnya, dan menimbulkan kesukaan pada dirinya untuk mengutamakan orang lai atas dirinyasendiri, serta ia dicela kalau menginginkan makanan dan pakaian megah.
b.   Mempergunakan instink meniru. Sesuai dengan hai ini para pendidik islam haruslah orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang utama dan berakhlak karena anak-anak akan menuruti jejak gurunya, apa yang dianggap jelek oleh guru, maka jeleklah dalam pandangan anak-anak, sebaliknya apa yang dianggap baik oleh guru, maka baiklah dalam pandangan anak-anak.
c.   Memperhatikan instink bermasyarakat. Anak-anak disuruh belajar di tempat-tempat yang sudah ada anak-anak yang lain sesuai dengan instink utuk bermasyarakat yang terdapat dalam dirinya. Apabila instink bermasyarakat ini telah dipenuhi , akan memberi efek dalam segi-segi lain dari kehidupannya, seperti ia akan merasa bangga dengan anak-anak lain yang telah dikenalnya, dan akan membangkitkan semangat apabila ia melihat kemajuan yang telah dicapai oleh kawan-kawannya, sehingga iapun mau bekerja untuk mencapai cita-citanya.
d.   Mementingkan pembentukan adapt kebiasaan dan keinginan-keinginan semenjak kecil, seperti membiasakan anak-anak bangun cepat diwaktu pagi, berjalan, bergerak, gerak badan dan naik kuda dan membiasakan tidak membuka anggota badan dan tidak menurunkan tangan, tidak cepat berjalan, tidak memanjangkan rambut, tidak memakai pakaian wanita, tidak meludah dalam majlis, tidak membuang ingus atau menguap didepan orang lain, tidak meletakkan kaki atas kaki yang lain,tidak berbohong, tidak bersumpah baik benar atau bohong dan membiasakan patuh kepada ibu-bapak dan guru-guru.
Sedangkan menurut M.Athiyah Al Abrasyi yang dikutip oleh Dra. Hj. Nur Uhbiyati (Ilmu Pendidikan Islam.2005.155-156), menyatakan metode yang paling tepat untukmenanamkan akhlak kepada anak ada 3 macam yaitu:
a.   Pendidikan secara langsung, yaitu dengan mempergunakan petunjuk, tuntunan, nasihat, menyebutkan manfaat dan bahaya-bahayanya sesuatu ;dimana pada murid dijelaskan hal-hal yang bermanfaat dan yang tidak,menentukan kepada amal-amal baik, mendorong mereka berbudi pekerti yang tinggi dan menghindari hal-hal tercela. Untuk pendidikan moral ini sering dipergunakan sajak-sajak, syair-syair, oleh karena ia mempunyai gaya musik,ibarat-ibarat yang indah, ritme yang berpengaruh dan kesan yang dalam ditimbulkannya dalam jiwa. Oleh karena itu kita lihat buku-buku islam dalam bidang sastra,sejarah, penuh dengan kata-kata berhikmat, wasiat-wasiat, petunjk-petunjuk berguna. Orang-orang Amerika di Amerika Serikat kini menggunakan cara-cara ini dan di antara kata-kata berhikmat, wasiat-wasiat yang baik dalam bidang pendidikan moral anak-anak, kita sebut sebagai berikut:
ü     Sopan-santun adalah warisan yang terbaik
ü     Budi pekerti yang baik adalah teman sejati
ü     Mencapai kata mufakat adalah pemimpinan yang terbaik
ü     Ijtihad adalah perdagangan yang menguntungkan
ü     Akal adalah harta paling bermanfaat
ü     Tidak ada bencana yang lebih besar dari kejahilan
ü     Tidak ada kawan yang lebih buruk dari mengagungkan diri sendiri
b. Pendidikan akhlak secara tidak langsung, yaitu dengan jalan sugesti seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada anak-anak memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka membaca sajak-sajak yang kosong termasuk yang menggugah soal-soal cinta dan pelakon-pelakonnya. Tidaklah mengherankan, karena ahli-ahli pendidik dalam islam yakin akan pengaruh kata-kata berhikmat, asihat-nasihat dan kisah-kisah nyata itu dalam pendidikan akhlak anak-anak. Karena kata-kata mutiara itu dapat dianggap sebagai sugesti dari luar. Didalam ilmu jiwa (psikologi) kita buktikan bahwa sajak-sajak itu sangat berpengaruh dalam pendidikan anak-anak, mereka membenarkan apa yang didengarkya dan mempercayai sekali apa yang mereka baca dalam buku-buku pelajarannya. Sajak-sajak, kata-kata berhikmat dan wasiat-wasiat tentang budi pekerti itu sangat berpengaruh terhadap mereka. Juga seorang guru dapat menyugestikan kepada anak-anak beberapa contoh pekerjaan, adil dalam menimbang begitu pula sifat suka terus terang, berani dan ikhlas.
c.   Mengambil manfaat daru kecenderungan dan pembawaab anak-anak-anak dalam rangka pendidikan akhlak. Sebagai contoh mereka memiliki kesenangan meniru ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, gerak-gerik orang-orang yang berhubungan erat dengan mereka. Oleh karena itu maka filosof-filosof islam mengharapkan dari setiap guru supaya mereka itu berhias dengan akhlak yang baik, mulia dan menghindari setiap yang tercela.

3.   Aspek Ibadah
Dalam dunia pendidikan aspek ibadah sering disebut dengan aspek psikomotorik. Muhibbin Syah, M.Ed (Psikologi Belajar.2003.54). mendefinisikan kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka.
Muhibbin Syah, M.Ed. (Psikologi Pendidikan. 2003. 54) berpendapat keberhasilan pengembangan ranah kognitif juga akan berdampak positif terhadap perkembangan ranah psikomotorik Dijelaskan pula oleh Dr. Nana Sudjana (Dasar-Dasar Proses Belajar. 2005.54.), seseorang yang berubah tigkat kognisinya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula perilakunya. Muhaimin berpendapat dalam bukunya (Paradigma Pendidikan islam. 2002. 169), Pembelajaran PAI justru harus dikembangkan kea rah proses internalisasi nilai (afektif) yang dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan mentaati pelajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotori).
Dari pernyataan tersebut dapat dismpulkan bahwa keberhasilan guru dalam mendidik peserta didik dapat dilihat dari aspek psikomotor yaitu bias atau tidakkah peserta didik itu mengaplikasikan mata pelajaran yang diberikan oleh guru kedalam tingkah laku ehidupan sehari-hari.

BAB III
KESIMPULAN


Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan jasmania juga harus berlangsung secara bertahap.
Pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Omar Muhammad Al-Toumy Al- Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam hidup pribadinya atau hidup kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar melalui proses kependidikan.
Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambuangan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu di emban oleh Pendidikan Islam pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan hadist (Sunnah Rasulullah).
Aspek pendidikan islam ada 3 macam yaitu
1.   Aspek Aqidah Dalam dunia pendidikan aspek aqidah sering disebut dengan aspek kognitif, Dengan demikian secara etimologis, aqidah berarti kepercayaan atau keyakinan yang benar-benar menetap dan melekat di hati manusia.
2.   Aspek akhlak Dalam dunia pendidikan sering disebut aspek afektif. yaitu keyakinan agama, kesadaran moral dan tanggung jawab sosial
3.   Aspek Ibadah dalam dunia pendidikan aspek ibadah sering disebut dengan aspek psikomotorik. Muhibbin Syah, M.Ed (Psikologi Belajar.2003.54). mendefinisikan kecakapan psikomotor ialah segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitasnya maupun kualitasnya, karena sifatnya yang terbuka.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu dan Uhbiyantin,Nur, Ilmu pendidikan , Jakarta:Rineka cipta,1991

Azyumardi, Azra, Pendidikan islam, Ciputat: Logos, 1999

Drajat, Zakiah, dkk,Ilmu Pendidikan Islam\, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Uhbiyanti, Nur, Ilmu PendidikanIslam, Bandung: Pustaka Setia,1988